CINTA
TAK SAMPAI
Pagi yang cerah
mengiringi langkah kakiku menuju sebuah gedung bertingkat yang selalu aku
kunjungi untuk menuntut ilmu. Bangunan sekolah yang tak jauh dari rumahku
perlahan mulai terlihat atapnya. Langkah kakiku terhenti ketika aku telah
sampai didalam sebuah kelas. Menatap sekeliling hingga pandanganku tertuju pada
sebuah meja pada baris kedua di bagian depan. Kulangkahkan kakiku menuju dimana
meja itu berada. Kemudian kuletakkan tas dan seperti biasa aku duduk menunggu
hingga Amel menyapaku.
Hari
ini aku mendapati surat itu berada di atas mejaku lagi masih tetap tanpa
menyebutkan nama pengirimnya. Aku bisa menebak apa isi surat itu, pasti isinya
hanya beberapa bait puisi. Sudah tiga hari terakhir aku menerima surat itu,
biasanya si pengirim hanya mencantumkan identitasnya sebagai Penggemar Rahasia.
Tanganku masih memegang surat bersampul biru dengan
hiasan pita warna biru, perlahan-lahan aku buka sampul surat dan aku keluarkan
isi surat untuk selanjutnya aku baca. Aku sangat terkejut ketika membaca surat
itu.
Hi Dini,
Bagaimana
kabarmu hari ini? Aku harap baik-baik saja. Aku yakin kamu ingin tahu siapa aku
sebenarnya. Sudah lama sekali aku ingin berkenalan denganmu, namun aku belum
memiliki keberanian. Itulah sebabnya aku mengirim puisi untukmu agar kamu tahu
jika aku mengagumimu.
Hari ini aku
tunggu di taman kota jam tiga sore, jika kamu benar-benar ingin tahu siapa aku
silahkan datang ke taman kota. Aku tunggu kehadiranmu.
Salam Kenal
Penggemar
rahasia
Tiba-tiba
hatiku berdebar tak menentu, darahku berdesir laju bagaikan orang yang terkena
tekanan darah tinggi. Aku terbengong memandang isi surat itu dengan hati
penasaran dan bercampur aduk dengan perasaan lainnya.
“Dini...!”
Aku
terkejut mendengar suara seperti anak kecil namun sangat nyaring itu,kemudian kuarahkan pandanganku ke arah datangnya suara.
“Amelia” gumamku
“Ngapain kamu bengong begitu Din?”
“A... aku tidak apa-apa” cepat-cepat ku sembunyikan
surat itu kedalam laci mejaku.
“Apakah kamu mendapat surat lagi hari ini?” sembari
berjalan kearahku dan berhenti ketika sampai di kursi yang berada di depan
mejaku kemudian dia duduk dan menatap mataku menanti jawaban atas
pertanyaannya.
“Ya. Tapi kali ini isinya berbeda, dia mengajakku
bertemu di Taman Kota sore ini”.
“Ide yang baik. Jika kamu telah bertemu dengannya,
maka kamu harus memberitahu aku bagaimana dia. Karna aku juga merasa penasaran”
“Pasti”
**
Kringgg.......
kringgg......
Bel
berbunyi tanda pelajaran telah berakhir, semua murid bergegas memasukkan
peralatan belajar mereka ke dalam tas masing-masing. Mereka sudah tidak sabar
lagi menanti guru keluar dari kelas mereka. Perasaan letih dan lapar membuat
mereka begitu bersemangat untuk mengucapkan salam. Kemudian mereka menyalami
guru dan berjalan menuju keluar dari dalam kelas.
Aku
berjalan diantara gerombolan siswa lainnya. Sementara fikiranku masih tertuju
pada pertemuan nanti sore. Aku sudah tidak sabar ingin tahu siapa yang selama
ini mengirim surat untukku dan mengaku sebagai penggemar rahasiaku.
Brukkk...
Aku
terdorong jatuh kelantai dan semua bukuku berserakan. Jantungku bagai berhenti
berdetak saat aku tahu siapa yang menabrakku. Denis. Mataku terpaku menatap lekat lelaki yang telah
menabrakku, dia adalah orang yang selama ini aku kagumi. Sungguh aku tak
menyangka ini bisa terjadi.
Kami
berpandangan dalam waktu yang cukup lama hingga menggetarkan debarab-debaran
aneh dalam dadaku. Segera ku alihkan pandanganku sembari memungut buku-buku
yang berserakan. Dia tidak tinggal diam melihatku, ia juga membantu membereskan
buku-bukuku dan menyerahkannya kepadaku.
“Maaf aku sangat terburu-buru hingga aku tak sengaja
menabrakmu. Kamu tidak apa-apa kan?”
“Tidak. Aku tidak apa-apa”
“Baiklah kalau begitu aku harus pergi”
Aku
masih terpaku menatap punggung tubuh Denis yang berlalu meninggalkanku. Ini
adalah pengalaman yang berkesan dalam hidupku dimana aku dapat mendengar
suaranya juga dapat memandang wajahnya
dengan jelas.
***
Lelah sekali hari ini, ku baringkan tubuhku diatas
ranjang sambil memandang langit-langit kamarku. Tiba-tiba saja mataku tertuju
pada tumpukan buku diatas tas sekolahku. Aku melihat keanehan pada tumpukan
buku itu. Ada sebuah buku yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
Rasa penasaran membuat aku melangkah menuju tumpukan buku
kemudian mengambil buku bergambar Mickey Mouse dengan warna dasar hitam itu.
Aku makin penasaran untuk membuka buku itu, barangkali di dalamnya terdapat
identitas pemilik buku.
Baru saja aku ingin membuka buku itu, tiba-tiba
handphoneku berdering menunjukkan ada panggilan yang masuk. Kuletakan kembali
buku yang kupegang dan meninggalkannya menuju ranjang untuk melihat siapa yang
menelpon.
“Hallo”
“Hallo Din”
“ada apa Mel?”
“Ntar malam kamu di
rumah?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Aku mau belajar di rumahmu”
“baiklah, aku tunggu
kehadiranmu”
“Ok. Bye”
“Bye”
Telepon terputus. Kulihat jam digital yang terpasang di
layar handphoneku menunjukkan pukul 14.30. sudah waktunya aku bersiap-siap
untuk bertemu Penggemar Rahasiaku. Segera kulangkahkan kakiku menuju kamar
mandi dan selanjutnya memilih pakaian yang akan aku kenakan.
****
Beberapa
menit berlalu, akhirnya aku tiba juga di Taman Kota yang ramai oleh remaja yang
tengah bersantai. Kusapukan pandanganku keseluruh penjuru taman sambil berharap
akan menemukan orang yang ingin aku temui. Tapi, lama aku berjalan mengeliling
taman tak kutemukan seorangpun yang mengajakku bertemu di taman ini. Lelah aku
mencari, kuputuskan untuk menunggu disebuah bangku di dekat rumpun bunga mawar.
Kakiku mulai kesemutan dan aku mulai jenuh menunggu orang
yang tak juga muncul. Kukeluarkan handphoneku dan menekan tombol berwarna merah
untuk melihat waktu. Tak kusadari ternyata telah satu jam aku menunggunya.
Akhirnya aku putuskan untuk pulang saja, aku fikir dia telah mempermainkanku.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan taman dengan hati kesal
dan menyesal telah membuang waktu untuk hal yang tidak berguna. Setelah tiba di
pinggiran jalan, aku lambaikan tanganku pada sebuah taksi yang tengah melaju,
kemudian aku tenggelam dalam taksi itu.
*****
Pagi ini aku masih merasa kesal, bahkan ketika sampai di
sekolah aku masih memasang muka masam. Kulewati beberapa orang siswi yang
tengah mendiskusikan sesuatu. Aku tidak tertarik untuk mendengarkannya karena
itu bukan kebiasaan ku, lagipula aku berbeda dengan siswi lainnya yang senang
menggosip. Pandanganku masih tetap lurus kedepan seolah tak menyadari begitu
banyak orang di sekelilingku, sesekali angin menghembus rambut panjangku yang terikat
rapih.
“Dini...”
Aku terkejut mendengar
ada yang memanggil namaku, bahkan aku hampir terlonjak mendengarnya. Mulutku
terbuka dan mataku mencari-cari arah datangnya suara.
“Aku disini Din...”
Tampak
seorang siswi berambut pendek tengah menantiku dibawah sebuah pohon
akasia. Tanpa banyak bicara kulangkahkan
kakiku menuju kearah datangnya suara dan kuhentikan langkahku ketika posisiku
berada tepat didepannya.
“Ada apa Mel...? Tumben
kamu datang lebih cepat daripadaku.”
“Memangnya aku tidak
boleh datang lebih cepat dari pada kamu...?”
“Boleh saja sih. Tapi
aku merasa heran saja.”
“Tadi aku sedang rajin
jadi aku bangun pagi-pagi sekali. Oh ya, ma’af semalam aku tidak jadi
kerumahmu, karena semalam orang tuaku pergi jadi tidak ada yang jaga rumah.”
“Nggak apa-apa kok.
Lagipula semalam suasana hatiku sedang tidak enak”
“Apa kamu ada
masalah..? cerita dong! Siapa tahu aku bisa kasih solusi”
“Aku jengkel karena si
Penggemar Rahasia itu tidak menepati janjinya. Dia membohongiku”
“Maksudmu dia tidak
datang ke Taman Kota sore itu”
“Ya”
Kriiinggg... kringgg...
kringgg....
Bel
berbunyi tanda pelajaran pertama pagi ini akan dimulai. Seluruh siswa bergegas
menuju kelas masing-masing. Aku dan Amel tenggelam di dalam rombongan siswa
lainnya. Kami bergerak menuju ruang kelas XI IPA 1.
Beberapa
saat kemudian semua siswa sudah berada di dalam kelas masing-masing dan duduk
rapi menunggu datangnya guru yang akan membawakan pelajaran. Tak lama kemudian
masuk seorang wanita berwajah teduh dengan senyuman ramah dan duduk di kursi
guru. Dia akan membawakan pelajaran Kimia selama dua jam kedepan.
“Baiklah, sebelum kita
memulai pelajaran ada sedikit pengumuman yang ingin ibu sampaikan kepada
kalian. Pagi ini kita mendapat berita duka dari salah seorang siswa yang
bernama Denis Avrilio Pratama siswa kelas XII IPA 2. Ia telah berpulang ke
rahmatullah kemarin sekitar jam 10 malam. Maka dari itu marilah kita memberikan
sumbangan atas rasa belasungkawa kepada keluarga yang di tinggalkan. Nanti kita
akan melayat kerumahnya setelah zenazah tiba di rumah.”
Degh! Jantungku terhenti ketika mendengar pengumuman
memilukan itu. Hatiku terasa sakit, tubuhku lunglai seperti tak memiliki tulang
yang akan menopangnya. Dadaku sesak menahan tangis. Rasanya aku tak sanggup
lagi berpijak di bumi ini, perlahan-lahan mataku mulai terasa berat dan
kepalaku pusing sekali. Kemudian aku tersungkur tak berdaya diatas meja hingga
aku tak mengingat apa-apa. Aku hanya sempat mendengar beberapa orang yang
memanggil-manggil namaku selebihnya aku tidak ingat apa-apa.
Tiba-tiba saja aku berada di sebuah taman yang indah
dihiasi beraneka ragam bunga mawar. Mataku terpana menatap sekeliling, tak
pernah aku jumpai taman yang seindah ini. Namun yang lebih mengejutkan ketika
aku menatap kearah rumpun bunga berwarna putih yang tak pernah aku jumpai
sebelumnya. Bukan bunga itu yang membuatku terkejut, tetapi ada seorang
laki-laki berbaju putih yang tengah berdiri di dekat rumpun bunga itu. Dia
menebarkan senyum manisnya padaku. Sungguh indah senyum itu, sepertinya aku sering
melihat wajahnya tapi aku lupa siapa namanya. Otakku tak mampu mengingat-ingat
namanya, mungkinkah aku telah mengalami amnesia? Aku rasa tidak.
Perlahan-lahan dia bergerak mendekatiku dan aku masih
terdiam dalam kebingungan yang tak henti-hentinya menggelayuti fikiranku.
Bahkan ketika dia mengatakan sesuatu aku tak mampu mendengarnya sedikitpun.
Kutatap matanya lekat-lekat, mencoba mencari tahu makna semua ini. Oh ya, aku
ingat mata itu.
“Denis” aku terpekik
tak percaya. Perlahan butiran bening mengalir dari kedua sudut mataku.
Sementara dia masih tetap menatap kearahku. Sepertinya ia ingin menyampaikan
sesuatu tapi ia tak bisa mengatakannya sebab aku tak mampu mendengar ucapannya.
Aku beranikan diri untuk menatap matanya. Dimatanya aku melihat apa yang ingin
dia katakan.
Ternyata dialah yang selalu meletakkan surat diatas
mejaku setiap pagi sebelum aku berangkat sekolah. Hingga pada hari itu dia
mengajakku untuk bertemu di tamana kota melalui surat terakhir yang dia tulis
untukku. Mungkin Tuhan tak mengizinkan kami bertemu, sore itu penyakitnya
kambuh dan dia harus dirawat dirumah sakit. Dokter tak mampu lagi menolongnya,
berbagai macam peralatan medis telah di kelurkan tapi hasilnya Tuhan berkata
lain. Ia menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit itu karena penyakit kangker
hati yang telah menggerogoti tubuhnya semenjak ia berumur 10 tahun.
Ludahku terasa pahit ketika aku mengetahui kenyataan ini,
lidahku kelu tak mampu berucap sepatah kata pun. Mengapa dia harus pergi
sebelum dia mengatakan cintanya padaku? Mengapa aku tidak menyadari semua dari
awal? Mengapa aku baru tahu setelah dia pergi jauh dan tak mungkin kembali?
Perasaan sesal dan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Perasaan itu
menjadi satu dan perlahan-lahan menghancurkan hatiku hingga menjadi serpihan
halus yang tak mungkin menjadi satu lagi.
“Denis... dimana kamu?”
aku terkejut ketika Denis tak lagi berada di hadapanku dan taman itu telah
sirna entah kemana. Yang kulihat hanya ruangan berukuran besar berwarna biru
laut dengan beberapa buah poster terpajang di beberapa bagian. Kudapati seorang
wanita yang tengah menemaniku dengan wajah sendu berada di samping tempat
tidur.
“Dini, kamu sudah
sadar”
“Mama, aku dimana?”
“kamu berada didalam
kamarmu nak”
“Apa yang telah terjadi
padaku?”
“Tadi kamu pingsan di
sekolah. Kata dokter kamu terlalu capai jadi
kamu harus banyak istirahat.”
Kini aku mengerti semuanya, aku pingsan ketika seorang
guru menyampaikan berita duka itu. Ketika aku pingsan aku bertemu dengan Denis.
Kemudian aku mendapati diriku berada di kamarku.
Sesaat kemudian aku teringat tentang buku bergambar
Mickey Mouse itu. Dimana buku itu berada. Kuarahkan pandanganku pada tumpukkan
buku diatas meja belajarku. Aku mencoba bangkit dari tempat tidur walau badanku
masih terasa lemas. Mama melarangku beranjak dari tempat tidur, dia mengam
bilkan buku itu untukku.
Setelah buku itu berada di tanganku, segera kubuka buku
itu. Hah? Ternyata buku itu milik Denis, itu adalah diary miliknya. Mungkin
ketika tabrakan itu, tanpa sadar bukunya
tercampur dengan buku milikku. Sungguh aku tak tahu, andaikan aku membacanya
lebih awal mungkin aku tak akan sebingung ini. Air mataku mengalir deras ketika melihat
sebuah foto berukuran kecil di sudut bawah buku itu. Mama memeluk erat tubuhku
dan mengelus-elus rambutku.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar