Minggu, 21 Oktober 2012


CINTA TAK SAMPAI

            Pagi yang cerah mengiringi langkah kakiku menuju sebuah gedung bertingkat yang selalu aku kunjungi untuk menuntut ilmu. Bangunan sekolah yang tak jauh dari rumahku perlahan mulai terlihat atapnya. Langkah kakiku terhenti ketika aku telah sampai didalam sebuah kelas. Menatap sekeliling hingga pandanganku tertuju pada sebuah meja pada baris kedua di bagian depan. Kulangkahkan kakiku menuju dimana meja itu berada. Kemudian kuletakkan tas dan seperti biasa aku duduk menunggu hingga Amel menyapaku.
Hari ini aku mendapati surat itu berada di atas mejaku lagi masih tetap tanpa menyebutkan nama pengirimnya. Aku bisa menebak apa isi surat itu, pasti isinya hanya beberapa bait puisi. Sudah tiga hari terakhir aku menerima surat itu, biasanya si pengirim hanya mencantumkan identitasnya sebagai Penggemar Rahasia.
            Tanganku masih memegang surat bersampul biru dengan hiasan pita warna biru, perlahan-lahan aku buka sampul surat dan aku keluarkan isi surat untuk selanjutnya aku baca. Aku sangat terkejut ketika membaca surat itu.
      Hi Dini,
Bagaimana kabarmu hari ini? Aku harap baik-baik saja. Aku yakin kamu ingin tahu siapa aku sebenarnya. Sudah lama sekali aku ingin berkenalan denganmu, namun aku belum memiliki keberanian. Itulah sebabnya aku mengirim puisi untukmu agar kamu tahu jika aku mengagumimu.
Hari ini aku tunggu di taman kota jam tiga sore, jika kamu benar-benar ingin tahu siapa aku silahkan datang ke taman kota. Aku tunggu kehadiranmu.

Salam Kenal
Penggemar rahasia



            Tiba-tiba hatiku berdebar tak menentu, darahku berdesir laju bagaikan orang yang terkena tekanan darah tinggi. Aku terbengong memandang isi surat itu dengan hati penasaran dan bercampur aduk dengan perasaan lainnya.
“Dini...!”
            Aku terkejut mendengar suara seperti anak kecil namun sangat nyaring itu,kemudian  kuarahkan pandanganku ke arah datangnya suara.
“Amelia” gumamku
“Ngapain kamu bengong begitu Din?”
“A... aku tidak apa-apa” cepat-cepat ku sembunyikan surat itu kedalam laci mejaku.
“Apakah kamu mendapat surat lagi hari ini?” sembari berjalan kearahku dan berhenti ketika sampai di kursi yang berada di depan mejaku kemudian dia duduk dan menatap mataku menanti jawaban atas pertanyaannya.
“Ya. Tapi kali ini isinya berbeda, dia mengajakku bertemu di Taman Kota sore ini”.
“Ide yang baik. Jika kamu telah bertemu dengannya, maka kamu harus memberitahu aku bagaimana dia. Karna aku juga merasa penasaran”
“Pasti”
**

            Kringgg....... kringgg......
            Bel berbunyi tanda pelajaran telah berakhir, semua murid bergegas memasukkan peralatan belajar mereka ke dalam tas masing-masing. Mereka sudah tidak sabar lagi menanti guru keluar dari kelas mereka. Perasaan letih dan lapar membuat mereka begitu bersemangat untuk mengucapkan salam. Kemudian mereka menyalami guru dan berjalan menuju keluar dari dalam kelas.
            Aku berjalan diantara gerombolan siswa lainnya. Sementara fikiranku masih tertuju pada pertemuan nanti sore. Aku sudah tidak sabar ingin tahu siapa yang selama ini mengirim surat untukku dan mengaku sebagai penggemar rahasiaku.
            Brukkk...
            Aku terdorong jatuh kelantai dan semua bukuku berserakan. Jantungku bagai berhenti berdetak saat aku tahu siapa yang menabrakku. Denis.  Mataku terpaku menatap lekat lelaki yang telah menabrakku, dia adalah orang yang selama ini aku kagumi. Sungguh aku tak menyangka ini bisa terjadi.
            Kami berpandangan dalam waktu yang cukup lama hingga menggetarkan debarab-debaran aneh dalam dadaku. Segera ku alihkan pandanganku sembari memungut buku-buku yang berserakan. Dia tidak tinggal diam melihatku, ia juga membantu membereskan buku-bukuku dan menyerahkannya kepadaku.


“Maaf aku sangat terburu-buru hingga aku tak sengaja menabrakmu. Kamu tidak apa-apa kan?”
“Tidak. Aku tidak apa-apa”
“Baiklah kalau begitu aku harus pergi”
            Aku masih terpaku menatap punggung tubuh Denis yang berlalu meninggalkanku. Ini adalah pengalaman yang berkesan dalam hidupku dimana aku dapat mendengar suaranya  juga dapat memandang wajahnya dengan jelas.
***
            Lelah sekali hari ini, ku baringkan tubuhku diatas ranjang sambil memandang langit-langit kamarku. Tiba-tiba saja mataku tertuju pada tumpukan buku diatas tas sekolahku. Aku melihat keanehan pada tumpukan buku itu. Ada sebuah buku yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
            Rasa penasaran membuat aku melangkah menuju tumpukan buku kemudian mengambil buku bergambar Mickey Mouse dengan warna dasar hitam itu. Aku makin penasaran untuk membuka buku itu, barangkali di dalamnya terdapat identitas pemilik buku.
            Baru saja aku ingin membuka buku itu, tiba-tiba handphoneku berdering menunjukkan ada panggilan yang masuk. Kuletakan kembali buku yang kupegang dan meninggalkannya menuju ranjang untuk melihat siapa yang menelpon.
“Hallo”
“Hallo Din”
“ada apa Mel?”
“Ntar malam kamu di rumah?”
“Iya. Emang kenapa?”
“Aku mau belajar di rumahmu”
“baiklah, aku tunggu kehadiranmu”
“Ok. Bye”
“Bye”
            Telepon terputus. Kulihat jam digital yang terpasang di layar handphoneku menunjukkan pukul 14.30. sudah waktunya aku bersiap-siap untuk bertemu Penggemar Rahasiaku. Segera kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi dan selanjutnya memilih pakaian yang akan aku kenakan.
****
           

Beberapa menit berlalu, akhirnya aku tiba juga di Taman Kota yang ramai oleh remaja yang tengah bersantai. Kusapukan pandanganku keseluruh penjuru taman sambil berharap akan menemukan orang yang ingin aku temui. Tapi, lama aku berjalan mengeliling taman tak kutemukan seorangpun yang mengajakku bertemu di taman ini. Lelah aku mencari, kuputuskan untuk menunggu disebuah bangku di dekat rumpun bunga mawar.
            Kakiku mulai kesemutan dan aku mulai jenuh menunggu orang yang tak juga muncul. Kukeluarkan handphoneku dan menekan tombol berwarna merah untuk melihat waktu. Tak kusadari ternyata telah satu jam aku menunggunya. Akhirnya aku putuskan untuk pulang saja, aku fikir dia telah mempermainkanku.
            Kulangkahkan kakiku meninggalkan taman dengan hati kesal dan menyesal telah membuang waktu untuk hal yang tidak berguna. Setelah tiba di pinggiran jalan, aku lambaikan tanganku pada sebuah taksi yang tengah melaju, kemudian aku tenggelam dalam taksi itu.
*****
            Pagi ini aku masih merasa kesal, bahkan ketika sampai di sekolah aku masih memasang muka masam. Kulewati beberapa orang siswi yang tengah mendiskusikan sesuatu. Aku tidak tertarik untuk mendengarkannya karena itu bukan kebiasaan ku, lagipula aku berbeda dengan siswi lainnya yang senang menggosip. Pandanganku masih tetap lurus kedepan seolah tak menyadari begitu banyak orang di sekelilingku, sesekali angin menghembus rambut panjangku yang terikat rapih.
“Dini...”
Aku terkejut mendengar ada yang memanggil namaku, bahkan aku hampir terlonjak mendengarnya. Mulutku terbuka dan mataku mencari-cari arah datangnya suara.
“Aku disini Din...”
Tampak seorang siswi berambut pendek tengah menantiku dibawah sebuah pohon akasia.  Tanpa banyak bicara kulangkahkan kakiku menuju kearah datangnya suara dan kuhentikan langkahku ketika posisiku berada tepat didepannya.
“Ada apa Mel...? Tumben kamu datang lebih cepat daripadaku.”
“Memangnya aku tidak boleh datang lebih cepat dari pada kamu...?”
“Boleh saja sih. Tapi aku merasa heran saja.”
“Tadi aku sedang rajin jadi aku bangun pagi-pagi sekali. Oh ya, ma’af semalam aku tidak jadi kerumahmu, karena semalam orang tuaku pergi jadi tidak ada yang jaga rumah.”
“Nggak apa-apa kok. Lagipula semalam suasana hatiku sedang tidak enak”
“Apa kamu ada masalah..? cerita dong! Siapa tahu aku bisa kasih solusi”
“Aku jengkel karena si Penggemar Rahasia itu tidak menepati janjinya. Dia membohongiku”
“Maksudmu dia tidak datang ke Taman Kota sore itu”
“Ya”
Kriiinggg... kringgg... kringgg....
Bel berbunyi tanda pelajaran pertama pagi ini akan dimulai. Seluruh siswa bergegas menuju kelas masing-masing. Aku dan Amel tenggelam di dalam rombongan siswa lainnya. Kami bergerak menuju ruang kelas XI IPA 1.
Beberapa saat kemudian semua siswa sudah berada di dalam kelas masing-masing dan duduk rapi menunggu datangnya guru yang akan membawakan pelajaran. Tak lama kemudian masuk seorang wanita berwajah teduh dengan senyuman ramah dan duduk di kursi guru. Dia akan membawakan pelajaran Kimia selama dua jam kedepan.
“Baiklah, sebelum kita memulai pelajaran ada sedikit pengumuman yang ingin ibu sampaikan kepada kalian. Pagi ini kita mendapat berita duka dari salah seorang siswa yang bernama Denis Avrilio Pratama siswa kelas XII IPA 2. Ia telah berpulang ke rahmatullah kemarin sekitar jam 10 malam. Maka dari itu marilah kita memberikan sumbangan atas rasa belasungkawa kepada keluarga yang di tinggalkan. Nanti kita akan melayat kerumahnya setelah zenazah tiba di rumah.”
            Degh! Jantungku terhenti ketika mendengar pengumuman memilukan itu. Hatiku terasa sakit, tubuhku lunglai seperti tak memiliki tulang yang akan menopangnya. Dadaku sesak menahan tangis. Rasanya aku tak sanggup lagi berpijak di bumi ini, perlahan-lahan mataku mulai terasa berat dan kepalaku pusing sekali. Kemudian aku tersungkur tak berdaya diatas meja hingga aku tak mengingat apa-apa. Aku hanya sempat mendengar beberapa orang yang memanggil-manggil namaku selebihnya aku tidak ingat apa-apa.
            Tiba-tiba saja aku berada di sebuah taman yang indah dihiasi beraneka ragam bunga mawar. Mataku terpana menatap sekeliling, tak pernah aku jumpai taman yang seindah ini. Namun yang lebih mengejutkan ketika aku menatap kearah rumpun bunga berwarna putih yang tak pernah aku jumpai sebelumnya. Bukan bunga itu yang membuatku terkejut, tetapi ada seorang laki-laki berbaju putih yang tengah berdiri di dekat rumpun bunga itu. Dia menebarkan senyum manisnya padaku. Sungguh indah senyum itu, sepertinya aku sering melihat wajahnya tapi aku lupa siapa namanya. Otakku tak mampu mengingat-ingat namanya, mungkinkah aku telah mengalami amnesia? Aku rasa tidak.
            Perlahan-lahan dia bergerak mendekatiku dan aku masih terdiam dalam kebingungan yang tak henti-hentinya menggelayuti fikiranku. Bahkan ketika dia mengatakan sesuatu aku tak mampu mendengarnya sedikitpun. Kutatap matanya lekat-lekat, mencoba mencari tahu makna semua ini. Oh ya, aku ingat mata itu.
“Denis” aku terpekik tak percaya. Perlahan butiran bening mengalir dari kedua sudut mataku. Sementara dia masih tetap menatap kearahku. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu tapi ia tak bisa mengatakannya sebab aku tak mampu mendengar ucapannya. Aku beranikan diri untuk menatap matanya. Dimatanya aku melihat apa yang ingin dia katakan.
            Ternyata dialah yang selalu meletakkan surat diatas mejaku setiap pagi sebelum aku berangkat sekolah. Hingga pada hari itu dia mengajakku untuk bertemu di tamana kota melalui surat terakhir yang dia tulis untukku. Mungkin Tuhan tak mengizinkan kami bertemu, sore itu penyakitnya kambuh dan dia harus dirawat dirumah sakit. Dokter tak mampu lagi menolongnya, berbagai macam peralatan medis telah di kelurkan tapi hasilnya Tuhan berkata lain. Ia menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit itu karena penyakit kangker hati yang telah menggerogoti tubuhnya semenjak ia berumur 10 tahun.
            Ludahku terasa pahit ketika aku mengetahui kenyataan ini, lidahku kelu tak mampu berucap sepatah kata pun. Mengapa dia harus pergi sebelum dia mengatakan cintanya padaku? Mengapa aku tidak menyadari semua dari awal? Mengapa aku baru tahu setelah dia pergi jauh dan tak mungkin kembali? Perasaan sesal dan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Perasaan itu menjadi satu dan perlahan-lahan menghancurkan hatiku hingga menjadi serpihan halus yang tak mungkin menjadi satu lagi.
“Denis... dimana kamu?” aku terkejut ketika Denis tak lagi berada di hadapanku dan taman itu telah sirna entah kemana. Yang kulihat hanya ruangan berukuran besar berwarna biru laut dengan beberapa buah poster terpajang di beberapa bagian. Kudapati seorang wanita yang tengah menemaniku dengan wajah sendu berada di samping tempat tidur.
“Dini, kamu sudah sadar”
“Mama, aku dimana?”
“kamu berada didalam kamarmu nak”
“Apa yang telah terjadi padaku?”
“Tadi kamu pingsan di sekolah. Kata dokter kamu terlalu capai jadi  kamu harus banyak istirahat.”
            Kini aku mengerti semuanya, aku pingsan ketika seorang guru menyampaikan berita duka itu. Ketika aku pingsan aku bertemu dengan Denis. Kemudian aku mendapati diriku berada di kamarku.
            Sesaat kemudian aku teringat tentang buku bergambar Mickey Mouse itu. Dimana buku itu berada. Kuarahkan pandanganku pada tumpukkan buku diatas meja belajarku. Aku mencoba bangkit dari tempat tidur walau badanku masih terasa lemas. Mama melarangku beranjak dari tempat tidur, dia mengam bilkan buku itu untukku.
            Setelah buku itu berada di tanganku, segera kubuka buku itu. Hah? Ternyata buku itu milik Denis, itu adalah diary miliknya. Mungkin ketika tabrakan itu, tanpa sadar  bukunya tercampur dengan buku milikku. Sungguh aku tak tahu, andaikan aku membacanya lebih awal mungkin aku tak akan sebingung  ini. Air mataku mengalir deras ketika melihat sebuah foto berukuran kecil di sudut bawah buku itu. Mama memeluk erat tubuhku dan mengelus-elus rambutku.
THE END